Sebagaimana Pagi Tidak Ada Sore yang Sama

Sekar Surowijoyo
1 min readApr 17, 2023

--

Barangkali ini jadi tulisan terakhir, sebab aku sudah muak. Biar aku jelaskan sekali lagi bahwa setiap hari, aku bangun dengan keinginan sarapan dengan tenang, membaca dua puluh lima halaman selagi cangkir kopiku masih hangat. Jika kurang beruntung aku tidak apa-apa melakukan ritual dua puluh lima halamanku di kereta sembari berdesak-desakan. Aku akan menjalaninya tanpa mengeluh. Meskipun aku selalu membaca tetapi setiap hari aku akan membaca hal baru atau setidaknya aku membaca hal yang sama dengan perspektif baru. Dalam skenario ini aku tidak mengharapkanmu.

Jika kamu membayangkan sore adalah menjemputku pulang kerja, menonton pertunjukan musik dan makan malam kaki lima yang tinggi karbo dan kolesterol maka sebaiknya kamu berhenti. Sebagaimana pagi, aku tidak mengharapkan sore bersamamu.

Aku akan melalui sore dengan berjalan kaki dari kantor, memandangi bebatuan, minum kopi sembari merokok sebatang (kadang dua batang) dan bicara dengan diriku sendiri untuk meyakinkan diri bahwa senja di Jakarta tidak terlalu buruk. Sebagaimana pagi, aku akan baik-baik saja menikmatinya sendirian.

Akhir-akhir ini aku merasa tidak punya kemampuan untuk mengurus hal-hal yang terlalu kompleks. Pilihanmu untuk menikah dan menjalani hidup sebagai bapak-bapak yang ingin mati di usia 40an, menurutku terlalu berlebihan. Jika kita bisa menangis dan meratapi kesedihan sendirian lantas mengapa harus berteman?

Sudah aku putuskan bahwa aku memilih untuk jadi pemeran utama dalam hidupku. Menghadapi segalanya dengan tenang dan sadar bahwa sebagaimana pagi, tidak ada sore yang sama. I’m not a rehabilitation center for an unstable and insecure man. Please leave me alone.

--

--

Sekar Surowijoyo

Self proclaims moody monster who randomly write about forest, human rights, public policy, and anything related. #Bizhumanrights