Merenungkan Kembali Environmental Citizenship di Indonesia

Sekar Surowijoyo
3 min readApr 25, 2020

--

Sebuah cerita yang sangat personal. Semoga tidak ada yang risih atau jijik melihat saya telanjang.

Dalam masa swakarantina, banyak hal yang telah lama saya tinggalkan lantas melintas kembali dalam benak. Salah satunya menyoal pekerjaan saya yang disebut orang-orang sebagai aktivis, meski saya setengah mati berusaha menyebutnya sekadar peneliti hak asasi manusia (HAM). Aktivisme lebih luhur daripada giat saya di kantor, sementara saya hanya anak muda yang punya privilese bisa bekerja di lembaga studi dan advokasi tentang HAM. Bagaimana bukan privilese? Saya bisa mengenyam pendidikan dari sekolah hukum bergengsi yang di kelilingi beragam manusia yang begitu bergairah bicara tentang keadilan. Hal tersebut adalah satu dari sekian fase terbaik dalam hidup saya.

Kampus tersebut punya kebijakan yang cukup menarik, dimana setiap mahasiswa punya dosen pembina akademik. Seorang dosen — ibarat kata seperti orang tuamu di kampus— yang bertanggung jawab memantau kondisi akademikmu dan mengarahkanmu mencapai karier. Dosen pembina saya, seorang laki-laki bernama Abdulah Abdul Fatah menjalankan hal tersebut dengan penuh suka cita. Dia mengirim pesan singkat, menelpon bahkan dia membuat line account demi memantau saya. Beliau adalah dosen yang berwawasan lingkungan. Masih lekat dalam ingatan percakapan pertama kali kami tentang jurang antara hukum sebagai kebijakan pemerintah dengan distribusi keadilan yang ada di tapak. Ada tiga kasus yang dia sering bahas yakni Freeport, Newmont, dan Kedung Ombo. Dia mengatakan bahwa budaya hukum tidak akan eksis tanpa usaha masyarakat mengklaim haknya. Setelah beliau meninggal, saya baru mengerti bahwa hal tersebut yang disebut dengan teori kewarganegaraan berwawasan lingkungan atau environmental citizenship.

Abdulah pergi terlalu cepat dan meninggalkan saya dengan pertanyaan besar soal environmental citizenship : mengapa masyarakat harus berjuang sendiri merebut haknya?

Saya terlalu muda dan naif sehingga memutuskan untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk mencari jawabannya. Bahkan melampaui kajian teori Andrew Dobson sendiri, saya mencoba melihat kondisi masyarakat lewat Kasus Urut Sewu dan Kasus Temon. Temuan saya mengatakan bahwa environmental citizenship di Indonesia sangat erat dengan kerja-kerja organisasi masyarakat sipil (OMS). Pada semester itu juga, saya memulai petualang ber-volunteer di berbagai skena OMS. Tidak butuh wAktu lama semester keempat, seorang pengacara hebat — bapak dari sahabat baik saya — bertanya tentang apa yang ingin saya lakukan setelah lulus kuliah dan saya menjawab bekerja di OMS. Dia tertawa terbahak-bahak mendengar saya bercerita tentang environmental citizenship. Periode tersebut saya sebut dia gila. Lantas pada hari ini, saya menyebut diri saya lebih gila.

Saya lebih gila, bukan karena menemukan Andrew Dobson salah. Andrew Dobson benar, Abdulah Abdul Fatah juga benar. Environmental citizenship adalah soko guru dari klaim hak atas lingkungan serta penegakan hukum lingkungan. Kegilaan itu saat saya menyadari saya sewindu hidup berkalang luka hanya demi menjawab pertanyaan tersebut. Menyelami bagaimana masyarakat sipil bekerja, tidak hanya hak atas lingkungan tetapi hak-hak lain yang begitu beragam dan itu adalah pengalaman menakjubkan hingga saya tidak sadar sudah delapan tahun membersamainya.

Kembali merenungkan environmental citizenship tentang pertanyaan: mengapa masyarakat harus berjuang sendiri merebut haknya? Telah terjawab dalam laporan pemantauan yang diluncurkan kantor saya berjudul “Menatap Tahun-Tahun Penuh Marabahaya:Laporan Situasi Pembela HAM atas Lingkungan Tahun 2019” Secara singkat, Negara sebagai aktor yang seharusnya memberikan pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan lebih sering berselingkuh dengan kepentingan kapital baik dengan bentuk kebijakan yang tidak kongruen atau pendekatan militeristik yang serampangan. Pada sisi yang lain, Negara masih terus berharap warga negaranya berpartisipasi dalam agenda global tentang aksi iklim atau tujuan pembangunan berkelanjutan. Masyarakat harus menjaga lingkungannya tetapi tidak boleh marah atau melawan jika sewaktu-waktu Negara atau oknum yang mengaku Negara datang mengambil hak mereka.

Dalam perenungan ini, saya melihat hukum lingkungan Indonesia pun sangat timpang. Apabila benar Negara hendak melindungi hak atas lingkungan warga negaranya semestinya Negara menempatkan perlindungan tertinggi bagi siapapun yang hendak melakukan klaim hak atas lingkungan. Namun yang terjadi dalam Pasal 66 UU PPLH adalah semata bertunjukan macan ompong. Keengganan negara menghadirkan peraturan pelaksana dari pasal tersebut adalah bukti nyata Negara sedang beretorika semata. Maka menurut hemat saya, environmental citizenship di Indonesia masih semata wacana sebab sebesar apapun klaim dari warga negara atas haknya, tanpa disertai infrastuktur regulasi sebagai pengaman adalah omong kosong.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat diri saya sendiri sekaligus refleksibersama soal environmental citizenship. Apabila diantara kalian yang membaca adalah mahasiwa atau pembelajar, saya berharap kalian terus menghidupi keilmuan kalian meski saya tidak benar-benar bahagia atas jawabannya tetapi saya bahagia setidaknya telah berusaha mencari jawabannya sendiri, tidak semata mengandalkan buku-buku yang ditulis orang lain.

--

--

Sekar Surowijoyo

Self proclaims moody monster who randomly write about forest, human rights, public policy, and anything related. #Bizhumanrights