Menuliskan Trauma: Bagian Kesatu

Sekar Surowijoyo
4 min readJan 10, 2022

--

Suatu saat dalam babak depresi, Bapak pernah berbagi ceritanya ada tiga kejadian dalam hidupnya yang berkaitan dengan saya yang tidak akan dia lupakan. Saya tidak akan membagikan semua kejadian tapi perihal pertama akan menjadi titik awal saya bercerita. Ya, kejadian pertama adalah ketika saya sempat ‘hilang’ ketika pulang sekolah. Dia bercerita begitu takut kalau saya diculik atau kecelakaan saat itu. Dia merasa bersalah bahkan hingga saat ini. Ketika dia bercerita itu, saya menangis karena saya menyadari itu kali pertama saya kabur saat merasa tidak dicintai.

Ya, saya merasa takut atas persaan tidak dicintai. Bentuknya beragam mulai dari tidak didengarkan, dilupakan atau diremehkan. Perasaan itu selalu membuat saya membenci diri saya sendiri dengan tendensi menyakiti diri sendiri.

Kejadian waktu itu, saya masih kelas dua dan memakai bendera sebagai seragam. Keluarga kami berpendapat anak harus mendapatkan pendidikan terbaik dan sekolah dasar dekat rumah tidak cukup baik sesuai standar mereka. Aku lupa ide siapa soal sekolah unggulan itu hadir tapi mungkin ada social pressure dan gengsi juga di dalamnya. Oleh karena itu tanpa memberikan pilihan, saya bersekolah di tengah kota yang jauhnya sekitar 8 km dari rumah.

Saya tidak pernah diantar atau dijemput seperti teman-teman yang lain. Sejak hari pertama saya dititipkan ke anak-anak SMA yang sekolahnya searah dengan saya. Orang tua saya adalah dua manusia yang kalah serta kewalahan mengurus hidupnya sendiri yang dipukul hancur oleh krisis moneter. Jadi saya harus menghadapi semuanya sendiri karena mereka tidak mampu membayar mobil jemputan. Bagaimana saya melewati momen itu? Seingat saya, saya hanya diam dan berusaha tegar karena saya tidak ada pilihan.

Sudah setahun saya selamat dengan gaya hidup tersebut, tapi semakin hari saya merasa orang tua saya semakin tidak mengharapkan saya hadir. Saya sangat merepotkan karena mereka harus mengurus saya saat mereka sendiri kewalahan atas hidup mereka. Dalam ingatan, saya ingat ibu saya berteriak-teriak kalau saya makan lambat karena demikian bisa membuat saya terlambat mendapatkan teman berangkat sekolah yang efeknya saya harus berangkat sekolah sendirian dan itu berbahaya sebab saya masih terlalu kecil. Sampai sekarang saya tidak paham mengapa saya harus dimarahi ketika mengunyah dengan benar padahal gigi saya tidak sempurna jadi saya butuh waktu lebih lama untuk makan. Saya juga adalah orang yang disalahkan kita kondisi membuat saya dalam bahaya.

Suatu hari pada kelas dua, saat Bapak dan Ibu ada di rumah maka saya minta dijemput. Saya benar-benar ingin merasakan diantarjemput seperti anak yang lain jadi secara spesifik saya minta ke ibu saat itu. Ibu saya bilang buat apa dijemput jika saya bisa pulang mandiri. Waktu itu saya ingin menangis tapi saya takut dibentak kalau menangis.

Atas kondisi tersebut munculah ide bagaimana kalau saya nebeng teman saya untuk naik jemputannya, sesederhana penasaran bagaimana sih rasanya naik jemputan. Alhasil saya menunggui teman tersebut, dia berbeda sekolah tapi sekolah kami menempel seperti perangko. Hal yang tidak saya perhitungkan adalah dia dijemput setelah ekskul jam dua. Saya pun tetap menunggu dari jam 11 hingga jam dua dengan kondisi lapar. Setelah dia keluar kelas, saya bilang bahwa saya ingin nebeng dan ternyata dia tidak mengizinkan saya naik jemputan katanya karena saya tidak bayar. Ini kedua kalinya saya merasa ditolak dan saya tetap tidak menangis sebab saya malu.

Akhirnya saya bergerak pulang dengan angkutan umum biasanya. Sesampainya di rumah, orang tua saya sudah menunggu, ibu menangis dan bapak marah. Mereka kecewa betul karena membuat saya khawatir. Saya bingung, harusnya saya yang menangis kenapa mereka lebih keras menangis? Seharusnya saya yang marah kenapa mereka lebih marah? Itu saat pertama kali saya memulai jadi badut, berbohong untuk menutupi kesediahan saya dengan bilang bahwa saya nyasar. Saya salah naik angkutan dan terbawa sampai jauh. Mereka percaya dan hingga saya tulis cerita ini, kedua orang tua saya tidak pernah tahu betapa inginnya saya diantarjemput seperti anak-anak lain. Saya ingin mereka meluangkan waktu buat saya bukan saya yang harus terus mengalah menuruti apa kata mereka. Asumsi saya adalah mereka akan sadar bahwa saya butuh dicintai ketika saya kabur tapi ternyata tidak. Ketika saya kabur yang ada adalah saya yang bersalah atas kepergian saya.

Butuh dua puluh tahun untuk menyadari bahwa itu sudah jadi trauma yang menimbulkan pola dalam kehidupan saya. Sampai sekarang saya sadar bahwa saya adalah orang yang kabur ketika merasa tidak dicintai, diharapkan atau dihargai. Saya berharap orang-orang akan mengejar saya dan bertanya berulang kali apa yang terjadi. Namun semakin saya dewasa saya paham bahwa orang dewasa cenderung meninggalkanmu daripada mendengarkanmu. Mereka sangat sibuk hingga tidak punya waktu. Namun ada yang tetap sama seiring berjalannya waktu, ketika kamu kabur maka kamu adalah manusia yang salah dan tidak becus. Mereka akan terus menyalahkanmu tanpa mencoba memahami kondisimu.

Maka mulai hari ini saya berjanji, saya tidak akan bergantung pada siapapun. Saya adalah rumah bagi diri saya sendiri. Saya adalah manusia yang dicintai oleh diri saya sendiri meski saya tidak merasa layak dicintai. Semuanya cukup meski saya tahu bahwa semuanya kurang sebab hal-hal yang kurang tadi adalah kecukupan bagi orang yang tidak pernah punya apa-apa.

Saya lahir sendirian tanpa punya apa-apa dan itu tidak apa-apa. Maka seharusnya hari ini juga tidak apa-apa.

11/01/2021 — Sekar Surowijoyo

NB. Satu-satunya orang yang pernah mengantar dan menjemput saya ke Sekolah fase itu adalah Marimin Surowijoyo. Dia melakukannya sesaat dia mengetahui peristiwa hilangnya saya di angkutan umum tanpa harus saya ceritakan dia tahu apa yang harus dilakukan. Sayangnya, Marimin Surowijoyo tidak hidup lama, dia pergi meninggalkan dunia ini dan membuat saya merasa bersalah hingga hari ini karena tidak pernah jadi versi terbaik yang dia ingini.

--

--

Sekar Surowijoyo

Self proclaims moody monster who randomly write about forest, human rights, public policy, and anything related. #Bizhumanrights