Melengkapi 28 Dalam Pusara

Sekar Surowijoyo
3 min readAug 12, 2022

--

Pantai Anggopi, Biak Numfor Agustus 2022

Saat ulang tahun ke-28 pada Juni lalu, saya meminta sahabat-sahabat untuk datang menemani. Tidak banyak cuma Adisti, Ardissa dan Sindy (sebab Regina sakit) yang bersedia, lalu kami memutuskan untuk ke Bogor. Tujuannya sederhana makan enak dan tertawa bersama. Jujur perpindahan menjadi 28 sangat mencekam, saya lebih banyak menangis dalam malam-malam itu. Terlalu banyak ketakutan soal hidup daripada ketakutan soal kematian. Lantas pertanyaannya, mengapa bisa saya lebih takut hidup daripada kematian? Ada apa tentang hidup yang saya jalani?

Kehidupan yang saya miliki sebenarnya sama saja dengan kebanyakan hidup orang lain. Saya terus bekerja, sesekali juga berkarya sampai lelah tak berdaya. Saya juga melewati hidup seperti angin, terus beranjak dari satu tempat ke tempat lain sampai tak mampu mengelak. Jika kerja adalah pusara maka di sanalah saya terhisap.

Dalam pusara tadi, ketakutan menjadi narasi kunci yang paling familiar saya temui. Ketakutan tadi kemudian saya pahami dengan “as it was in the beginning, is now, and ever shall be, world without end” atau dalam bahasa sering orang-orang terjemahkan sebagai “karena ia adalah pada mulanya, kini dan hendaklah, dunia tanpa akhir.” Secara harfiah saya melihat ketakutan itu hadir dari hutan yang terbakar, panasnya membuat es yang mencair, airnya lantas meluapkan lautan, memasuki lorong dan rongga tanah, menggeser gunung dan merusak segala tatanan. Tentu saya sadar bahwa perubahan pasti terjadi dan itu di luar kendali saya. Namun kehawatiran atas perubahan menjadi begitu besar sebab saya akan menyaksikan begitu banyak kesedihan. Walaupun saya paham semuanya sementara tapi terlalu menakutkan untuk menghadapi tragedi yang bisa kita prediksi. Berikutnya selain terhisap pusara, ternyata saya menghadapi pusara dengan begitu ketakutan.

Saya selalu merasa sendirian menghadapi ketakutan. Namun saya tidak sanggup menghadapi ketakutan lain untuk membersamai orang lain. Saya cukup menangisi ini sendiri, ruang ini hari ini cukup nyaman untuk menangis sendiri. Tidak apa-apa, sementara.

Ibu selalu bertanya, “kamu itu nunggu apa kar?”

Sesungguhnya saya tidak menunggu apa-apa. Saya semata mengikuti alurnya, saya tidak punya apapun yang bisa saya kejar sejak saya dipukul habis oleh depresi tahun 2020- 2021 lalu. Tidak sedih tapi saya juga tidak bahagia-bahagia amat. Kalau mengutip kata Bin Idris dalam lagunya Pusara, “apa yang engkau genggam biarpun erat kelak kan lolos dari cengkraman, pudar menghilang entah kemana perginya.” Maka sejak saat itu, saya lebih banyak pasrah dan mengikhaskan. Segalanya saya putuskan mengikuti intuisi, hampir tidak ada perencaan berarti kecuali soal kerja-kerja untuk menyambung hidup.

Saya adalah rumah bagi diri saya sendiri. Belum bisa menjadi apa-apa sih, hanya saja saya ingin menjadi ruang aman untuk diri ini. Walaupun sudah dihisap habis dalam pusara dengan begitu banyak ketakutan, setidaknya saya tetap punya diri saya sendiri.

Untuk Sekar Surowijoyo, semoga engkau dapat menjadi 28 yang ikhlas ketika semua yang engkau cinta kelak akan sirna. Kembalilah hening seperti adanya sudut kepala dalam lamunan. Engkau akan baik-baik saja, tidak apa-apa.

NB. Terima kasih Bin Idris untuk PUSARA-nya yang megah.

--

--

Sekar Surowijoyo

Self proclaims moody monster who randomly write about forest, human rights, public policy, and anything related. #Bizhumanrights