10 Jurnalis Musik Perempuan Favorit Sekar Surowijoyo

Sekar Surowijoyo
5 min readMay 5, 2022

--

Barangkali kalian semua terkejut, mengapa Sekar Surowijoyo harus menulis menulis 10 jurnalis musik favoritnya? Lantas apa pentingnya tulisan ini bagi skena musik Indonesia? Tenang, jangan kalut dulu, tarik nafas agar kita bisa bernamaste ria.

Sekar Surowijoyo adalah saya sendiri, ya benar yang punya medium ini, jadi saya nulis apa ya bebas dong. Jangan julid! Kedua saya pernah jadi kontributor majalah Musik, WarningMagz yang memang bukan majalah yang besar hingar bingar tapi saya selalu senang merayakan masa-masa saya aktif di sana. Atas dasar tersebut, saya merasa skena musik harus aman untuk perempuan termasuk menghargai para jurnalis musik perempuan. Jadi saya kumpulkan perempuan-perempuan keren yang menulis musik agar supaya kamu tahu. Terutama redaksi Pop Hari Ini yang cuma tahu jurnalis musik laki-laki, biar terbuka wawasan mereka tuh dan supaya berbinar musik pop hari ini.

Tanpa babibu yuk kita masuk ke listnya:

  1. Gisela Swaragita (The Jakarta Post)

Pertama kali tahu Gisela, saat dia masih ngeband bersama Seahoarse di Jogja. Lantas mengetahuinya bergabung dengan Jakarta Post adalah sebuah kegembiraan. Gisela meliput musik dengan sepenuh hati, saya dapat merasakannya bahkan dari pilihan katanya. Ketika dia puas dan gembira, dia benar-benar merayakan gigs tersebut. Salah satu tulisan favorit saya adalah ketika Gisela menulis soal Joyland 2019, bahkan membacanya pun ikut puas dan sekaligus menyesal kok nggak nonton Joyland.

2. Zara Zahrina (@Skeletale)

Aku mengenal Zara sejak jaman ask.fm dulu, opininya selalu tajam. Aku ingat pernah baca tulisannya di Jurnal Ruang yang sangat tajam tentang betapa bermasalahnya statement ,“Kalau mau bandmu cepat “naik”, bikin saja band yang personelnya cewek semua. Keren sih.” Ciri khasnya Zara memang frontal dan tajam, walaupun sekarang tulisannya nggak bisa diakses lagi karena Jurnal Ruang sudah tamat.

Zara sekarang juga aktif di skena, dulu ngeband bareng Nonanoskin dan sekarang malang melintang bersama videostarr

3. Anida Bajumi (Ruang)

Anida cukup eksis di skena karena Ordo Nocturno salah satu indie record label dan management artist yang unik karena genrennya post punk. Ketika Anida menulis untuk ruang tentang Menggugat Seksisme di Scene tahun 2019, saya sangat senang membacanya. Ini artikel yang saya tunggu-tunggu hadir di media pop sebab selama ini diskusinya semata di gigs dan zine-zine semata. Tanpa mengurangi kekhusyuan dalam zine tetapi diskusi ini perlu diberi ruang lebih luas. Artikel yang ditulis Anida punya sudut pandang yang lengkap dan dia juga detail menyampaikan apa yang harus disampaikan. Aku berharap Anida bisa menulis lebih banyak lagi.

4. Titah AW (WarningMagz / Kontributor Vice Indonesia)

Titah Asmaning Winedar mungkin sekarang terkenal sebagai penulis realisme magis, tapi jauh sebelumnya dia adalah editor saya di Warningmagz. Tentu saja saya akan memasukannya di sini sebab dia yang mengajari saya menulis musik. Saya kagum dengan Titah sejak dia mereview album dari band favorit saya, Belle and Sebastian. Sekarang dia juga menjadi kontributor Vice dan masih menulis musik, salah satunya karya terbarunya meliput Arka Kinari yakni proyek tur kapal lambat duo eksperimental Nova Ruth dan Grey Filastine. Ciri khasnya adalah pertanyaan personal dan funamental serta perpektif yang luas.

5. Oktaria Asmarani (Serunai/Bale Bengong)

Sering aku panggil Rani, aku pertama kali bertemu dengannya saat kami sama-sama dipanggil interview untuk Warningmagz. Aku mengidolakan tulisan Rani yang kuat bermain rasa. Rani bisa mengajak kita menyelami rasa dibalik musik sekaligus menyelami pengalamannya atas musik. Tulisannya selalu menarik, ada dua karya Rani favoritku yakni review albumnya Nostress dan review albumnya Monita.

6. Hasya Nindita (Tirto.id / WarningMagz)

Hasya sehari-hari menulis soal kultur di Tirto. Namun tulisannya soal musik menurutku jauh lebih menarik, yang terakhir aku membaca wawancaranya dengan Farid Stevy yang dimuat di WarningMagz. Meski menyarikan dari percakapan yang direkam lewat video tapi tulisan Hafsya renyah.

7. Ghina Sabrina (Whiteboard Journal)

Tahun lalu, saya iseng mencari artikel soal solois berkebangsaan korea 박혜진 Park Hye Jin. Atas keisengan tersebut saya menemukan tulisan Ghina di Whiteboard Journal. Wow! Kaget saya menemukan orang lain selain Hilmi bisa mereview di WJ, perempuan pula. Membaca tulisan Ghina lebih menyenangkan dari membaca tulisan Hilmi karena dia gamblang menulis bahwa ada part Hye Jin yang terasa melelahkan jika didengar terus menerus. Harusnya Ghina bisa mereview musik lebih banyak sih!

8. ratri ninditya ( popteori.com/ )

Saya kenal Ninit sebagai seorang penulis puisi dan peneliti seni sampai saya iseng (lagi-lagi) mencari tahu soal Giring Ganesha. Ternyata jauh-jauh sebelum Giring gesrek menarik perhatian saya, Ninit sudah menyebut Giring ini megalomaniak. Seru banget gaya nyeleneh Ninit membicarakan seorang vokalis dan sekaligus calon presiden.

9. Cinta Marezi (Madgalene)

Pertama kali dengar tentang Cinta dari tulisannya Anida di Jurnal Ruang karena Cinta diwawancarai sebagai anggota band Indie-Pop, @wearepeonies. Kemudian baca tulisannya Cinta di Magdalene, judulnya Menjadi Perempuan Dalam Skena Musik. Komentar Cinta bahwa pandangan kapitalisme bahwa objek yang tak berdaya melawan sistem kapital, memang menjadi merugikan ketika perempuan di dalam band sudah tidak dapat lagi bergerak sesuai keinginan dirinya sendiri. Membuat saya berpikir ulang soal seksisme skena. Terima kasih banyak Cinta!

10. Arzia Tivany Wargadiredja (Vice Indonesia)

Arzia nggak fokus memang nulis musik, tapi ada satu tulisannya yang menurutku layak dikenang sebagai masterpiece yakni tulisannya soal “Lagu Anak Era 90'an Kalau Didengar Lagi Tema Liriknya Subversif Banget” Ide ini brilian dan eksekusinya juga bagus banget. Semoga Arzia nulis lagi artikel musik yang kontras dan subversif begini. Kangen euy!

Demikian 10 jurnalis musik perempuan yang menurutku perlu dirayakan oleh skena musik Indonesia. Aku yakin pengetahuanku masih kurang luas, jadi aku berharap kalian bisa mendukung jurnalis musik perempuan untuk berkarya. Perlu digarisbawahi bahwa untuk bisa fokus ke satu jenis tulisan sebagai jurnalis itu harus punya banyak privilege, barangkali jurnalis perempuan atau queer tidak punya itu sekarang. Tulisan ini pun juga masih bermasalah karena masih berkutat dan berpusat di Pulau Jawa.

Akhir kata, saya mau mengulangi dan meneriakan hal yang sama seperti artikel yang saya tulis di Magdalene 2018 lalu, bahwa kita tidak boleh diam dengan skena yang seksis. Kita lawan hari ini supaya kelak banyak perempuan bisa bermusik, menikmati musik dan merayakannya dengan aman.

Terkhusus buat Pop Hari Ini, tolong banget ya jangan cuma LAKIK MULU!

NB. Tulisan ini saya tulis tadi malam tergesa-gesa sebagai reaksi atas artikelnya Pop Hari Ini, akibatnya saya melupakan dua penulis perempuan yang bisa honorable mention karena mereka adalah role model saya ketika menulis musik. Mereka adalah Wening Gitomartoyo (eks Rollingstone dan Jakpost) dan Idha Saras (Redaktur Serunai.co).

Pasti ada lebih jurnalis musik perempuan yang belum masuk dalam list ini terutama jurnalis musik peremuan dan queer dari luar Jawa. Saya mengundang teman-teman untuk membagikan nama jurnalis perempuan dan queer lain terutama dari luar Jawa di sosial media agar supaya lebih banyak yang mengenal mereka.

--

--

Sekar Surowijoyo

Self proclaims moody monster who randomly write about forest, human rights, public policy, and anything related. #Bizhumanrights